Presiden Indonesia Ke-8 Prabowo Subianto
Pemerintah baru di bawah Presiden Prabowo Subianto resmi mengajukan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 dengan nilai fantastis: Rp234 triliun (sekitar US$234 miliar). Anggaran ini disebut-sebut sebagai langkah menuju “Indonesia Kuat”, dengan target defisit turun ke 2,48% dari PDB, bahkan menjanjikan anggaran seimbang (zero-deficit) pada 2027–2028. Klaim ambisius ini langsung mengundang sorotan—baik dari ekonom, pelaku bisnis, maupun lawan politik.
Kontribusi Politik dalam Perkembangan Sosial Ekonomi di Indonesia
1. Target Pertumbuhan Ekonomi 8%: Realistis atau Sekadar Retorika?
Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8%. Untuk konteks, pertumbuhan Indonesia pada kuartal II 2025 adalah 5,12% (Badan Pusat Statistik). Angka ini sudah di atas rata-rata global, tapi masih jauh dari 8%. Tantangan struktural seperti ketergantungan pada ekspor komoditas, lambannya hilirisasi, dan rendahnya produktivitas masih menghantui. Beberapa ekonom menilai target 8% lebih condong ke political statement ketimbang proyeksi realistis.
2. Program Makan Gratis: Investasi SDM atau Populisme Politik?
Salah satu pos besar dalam APBN 2026 adalah program makan siang gratis untuk sekitar 83 juta anak sekolah dan masyarakat miskin. Biaya ini menelan ratusan triliun rupiah. Di satu sisi, program ini bisa meningkatkan gizi generasi muda—fondasi jangka panjang untuk kualitas SDM. Namun di sisi lain, oposisi politik menilai ini sebagai program “populis” yang menguras fiskal tanpa jaminan efektivitas. Kritiknya jelas: apakah ini solusi permanen, atau sekadar strategi politik untuk memperkuat basis dukungan?
3. Defisit Turun, Tapi Utang Naik
Defisit direncanakan menyusut ke 2,48% PDB. Namun, utang negara tetap membengkak. Per Juli 2025, utang pemerintah mencapai Rp8.400 triliun (Kementerian Keuangan). Artinya, walau defisit dikendalikan, pembiayaan utang tetap jalan. Pertanyaan tajam pun muncul: apakah pemerintah hanya memoles angka defisit sementara utang jangka panjang makin menekan ruang fiskal?
4. Energi dan Dekarbonisasi: Antara Komitmen dan Kenyataan
APBN 2026 juga memuat komitmen pada dekarbonisasi dan percepatan energi terbarukan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan dominasi batu bara masih kuat—sekitar 62% pembangkit listrik Indonesia masih berbasis batu bara (IESR, 2024). Dengan transisi energi yang lambat, skeptisisme publik tak terhindarkan: apakah janji hijau pemerintah sungguh dijalankan, atau hanya jargon internasional?
5. APBN sebagai Alat Politik
Tak bisa dipungkiri, APBN 2026 juga adalah dokumen politik. Besarnya program sosial, target pertumbuhan tinggi, dan janji transisi energi hijau menjadi narasi untuk mengokohkan posisi politik Prabowo di tahun-tahun awal pemerintahannya. Di DPR, kubu oposisi sudah menyiapkan kritik tajam—mulai dari risiko pemborosan, ketergantungan pada utang, hingga efektivitas distribusi anggaran.
Kesimpulan
APBN 2026 versi Prabowo adalah cermin dari ambisi besar: pertumbuhan tinggi, rakyat kenyang, fiskal terkendali, dan energi hijau. Namun di balik narasi lantang itu, ada realitas getir: target ekonomi yang sulit dicapai, utang yang menumpuk, serta risiko politisasi anggaran. Fakta-fakta ini mengingatkan kita bahwa APBN bukan sekadar dokumen teknis, melainkan juga arena pertarungan politik.
🔥
“Jangan pernah biarin angka-angka di kertas bikin kita lupa: rakyat yang kerja keraslah tulang punggung bangsa. Kalau mereka bisa ngotot bertahan di tengah utang negara segede gunung, kamu juga bisa ngotot ngejar mimpi kamu. Jangan takut sama ilusi besar politik—realita ada di tangan kita, bukan di meja pejabat.”
Referensi Fakta:
-
Badan Pusat Statistik (BPS), Pertumbuhan Ekonomi Q2 2025: 5,12%
-
Kementerian Keuangan RI, Data Utang Pemerintah Juli 2025: Rp8.400 triliun
-
IESR (Institute for Essential Services Reform), Laporan Transisi Energi 2024: 62% listrik Indonesia dari batu bara
-
Reuters, “Indonesia’s 2026 Budget Designed to Make Country Strong, President Says” (15 Agustus 2025)
0 Komentar